Kamis, 28 Oktober 2010

Pendidikan latihan dasar (Diklatsar) kepecinta alaman merupakan hal yang wajib dilaksanakan bagi para calon anggota pecinta alam yang akan masuk kepecinta alam yang terorganisir (Sispala, Mapala, OPA yang lain), , karena hal tersebut merupakan pintu masuk (rekruitmen awal)menjadi anggota resmi pecinta alam, namun bagi sebagian besar calon anggota terutama yang hanya tahu sedikit tentang pecinta alam Diklatsar merupakan momok yang menakutkan, karena identik dengan kekerasan, walaupun pada dasarnya kekerasan yang ada di diklatsar pecinta alam itu tidaklah sekeras pola pendidikan taruna di IPDN, sekolah pelayaran, dan lembaga pendidikan yang menerapkan pola pendidikan semi militer. Kekerasan di diklatsar hanyalah sekedar bentakan, jarang adanya kekerasan dengan pukulan,tendangan, dan hal fisik lainnya yang mematikan (adapun kejadian meninggalnya calon anggota dibeberapa mapala itu karena kasuistic), ada hukuman yang diterapkan ketika ada kesalahan calon anggota itupun hanya push up. Dalam diklatsar sebetulnya pola pendidikan pecinta alam kita bukanlah kekerasan, tapi mengajarkan ketegasan, kedisiplinan dan bagaimana caranya seorang angota pecinta alam itu tanggap dengan kondisi yang ada di sekitarnya, serta menumbuhka loyalitas dan dedikasi terhadap organisasi.
Topik pendidikan latihan dasar di mapala kita sebetulnya belakangan ini sudah menjadi topik diskusi yang menarik, adanya pro kontra dengan dihilangkannya praktek bentakan dan hukuman dan dengan berbagai argumen yang dimunculkan, banyak yang menentang dihilangkannya tradisi bentakan namun ada juga yang mendukung pola pendidikan latihan dasar dengan metode baru yang masih dalam wacana. Namun perbedaan itu bukanlah menjadi hal yang menyebabkan perpecahan dikalangan kita.
Adanya perbedaan pola pendidikan latihan dasar di setiap OPA adalah otoritas penuh masing-masing organisasi pecinta alam, tidak ada standar baku yag diterapkan di seluruh pecinta alam Indonesia. Kurikulum pendidikan pecinta alam secara nasional pernah akan dibahas di forum TWKM (Temu Wicara Kenal Medan), namun mayoritas organisasi mapala yang hadir pada saat itu menentang adanya penyamaan pola pendidikan mapala, dengan alasan mapala bukan seperti organisasi yang lain yang mengandalkan sistem organisasi top down (maksudnya dari organisasi yang mempunyai kepengurusan dari pusat ke daerah sampai ranting seperti halnya Pramuka dan organisasi pemerintah lainnya) tapi sistem organisasi Mapala adalah bottom up yang tumbuh dari bawah ( ingat kita solid karena kita bersatu dari kalangan grass root)
Namun ada baiknya memang kita istropeksi bersama-sama benarkah sistem pendidikan pecinta alam kita sudah bagus? Masihkah relevan sistem pendidikan latihan dasar pecinta alam selama ini? Kenapa sekarang peminat calon anggota pecinta alam sedikit? Kenapa banyak anggota pecinta alam yang sudah masuk ke organisasi pada ogah-ogahan mengelola organisasinya?benarkah loyalitas dan dedikasi anggota pecinta alam terhadap organisasinya sudah mulai hilang?benarkah solidaritas antar organisasi PA juga mulai luntur? Dan banyak lagi pertanyaan kenapa- kenapa yang lain.
Pertanyaan- pertanyaan di atas sebetulnya saya yakin bisa terjawab kalau kita mau berpikir kritis dengan kondisi pecinta alam sekarang ini, paradigma pecinta alam zaman dulu, dengan pecinta alam zaman sekarang sangat berbeda, dulu kita akan bangga ketika pasca diklatsar, bangga telah lolos dari pendidikan yang kita anggap hebat, bangga dapat syal kebanggaan kita, bangga dengan seragam kita, bangga bahwa kita adalah orang-orang yang berani menaklukan tantangan (the winner from the challenger), setelah masuk dan menjadi anggota muda kita akan dengan senang hati menuruti perintah senior tanpa merasa adanya tekanan (menunjukan dedikasi kita ke senior), kitapun akan bangga (walaupun dalam prosenya kita banyak pengorbanan)ketika kita bisa melaksanakan sebuah event yang diadakan oleh organisasi kita (menunjukan loyalitas dan dedikasi ke organisasi) , dan kitapun akan semangat dan bangga ketika kita menyelesaikan jenjang pendidikan pasca diklatsar, diklan( pendidikan lanjut),melaksanakan pelatihan dan pendidikan yang lain untuk bisa memenuhi tugas akhir (pengembaraan/ekspedisi)supaya mendapat nomor keanggotaan dan menjadi anggota tetap organisasi. Setelah itu kita siap utuk menjadi pengurus organisasi.
Semua itu kita lakukan tanpa adanya keterpaksaan, pengorbanan waktu, kuliah, financial dan pengorbanan-pengorbanan yang lain tidak kita anggap sebagai hal yang berat, kita merasa bangga dengan kita menunjukan loyalitas, dedikasi kita ke organisasi, kita merasakan solidaritas yang tinggi ketika kawan kita sesama pecinta alam sedang mengadakan event, kita bangkit bersama dan merapatkan barisan ketika kita merasa di injak-injak oleh orang lain, kita bahkan tidak peduli dengan siapa kita berhadapan walaupun mereka orang-orang yang berpengaruh (dosen, bahkan rektor, ataupun pihak birokrasi).tapi kini apakah kita masih merasakan hal itu? Saya yakin masih ada solidaritas antar OPA, masih ada loyalitas dan dedikasi ke organisasi cumaaaaa......prosentasenya menurun.
Hal itulah yang harus kita instrropeksi bersama-sama, masih perlukah sistem lama ketika kita melakukan rekruitmen anggota baru?masih perlukah sikap senioritas kita? Kita harus bisa memahami paradigma baru OPA sekarang kalau kita tetap bertahan dengan sistem pendidikn yang lama kemungkinan besar anggota OPA semakin sedikit, kita perlu adanya penyegaran sistem, kita perlu membuat sistem rekruitment anggota sesuai dengan kondisi saat ini, kita tidak bisa memaksakan status quo kita sebagai senior, karena pecinta alam sekarang lebih kritis, lebih cerdas untuk bisa mengelola sebuah sistem pendidikan, dan kita sebagai senior jangn terlalu jauh intervensi dengan adik-adik kita. Biarkan adik-adik kita berkiprah dengan cara mereka sendiri ( di ambil dari kata-kata di kaos MAHAPEKA UIN Gunung Jati Bandung). So... Satu Bumi Satu Keluarga....!majulah pecinta alam Indonesia.
Kurikulum Pendidikan Organisasi Pecinta Alam Perlukah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar